cara menghadapi algoritma media sosial

Cara Menghadapi Algoritma Media Sosial – Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube selalu dinamis dalam menerapkan aturan algoritmanya. Hal ini karena mengikuti pedoman komunitas di masing-masing platform yang pada ujungnya merespon perilaku pengguna itu sendiri. Sebagai konten kreator, ini menjadi tantangan tersendiri karena perubahan algoritma tentu akan berdampak pada bagaimana konten disebar dan direkomendasikan ke pengguna lainnya. Dilema yang dihadapi ini tentu bisa merusak daya semangat, kreativitas, dan ide untuk terus berkarya. Bahkan, tidak sedikit konten kreator yang tumbang di tengah jalan karena tak sanggup menghadapi badai algoritma yang sering berubah skala mayor.

Mengajak Kreator Tetap Kreatif Walau Algoritma Berubah

Artikel ini akan mempermudah dan meluruskan cara berpikir konten kreator agar tetap berkarya dan bisa berdamai dengan perubahan algoritma sekalipun. Pada dasarnya, algoritma itu urusan di balik layar para programmer platform, tapi kita bisa menjadi sahabat algoritma jika kita paham bagaimana memanusiakan manusia. Artinya, kita sebagai kreator jangan berpikir bagaimana mengenali algoritmanya, tapi wajib mengenali perilaku manusianya. Untuk tahu hal ini maka butuh data laporan performa konten untuk melihat konten mana yang viral dan direspon baik dengan cara rutin membuat social media report bulanan. Inilah 3 pola yang kami rangkum tentang bagaimana cara mengakali algoritma dan membuat kita tetap bertahan dan terus berkarya walaupun algoritma sering berubah.

Konten Pengalaman Pribadi

Manusia cenderung punya rasa kepo alias ingin tahu urusan orang lain. Oleh karena itu, kita bisa memanfaatkan pola ini sebagai cara menghadapi algoritma media sosial, yaitu membuat konten tentang pengalaman bagus dan bernilai yang bisa dibagikan kepada audiens. Cara ini hingga saat ini masih relevan, karena sebuah cerita cenderung diterima sebagai fakta ketimbang opini atau argumentasi.

Maka, wajar sekali banyak kreator berbagi rutinitas kehidupan pribadinya yang sekiranya dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi audiens. Saran kami untuk menjalankan pola ini adalah pastikan kamu tahu siapa dirimu, apa value-mu, apa talent-mu, dsb. Ini penting karena audiens tidak akan melihat konten jika memang kreator tidak bernilai yang bisa dibagi.

Konten Edukasi Durasi Panjang

Format konten edukasi menjadi primadona ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Sehingga konten kreator bermunculan dan lahir di kala itu. Mereka menggunakan konsep edukasi di bidang masing-masing untuk sarana mencari perhatian audiens. Cara ini masih sangat efektif mengingat konten edukasi adalah konten evergreen yang selalu dibutuhkan dan relevan dalam jangka panjang.

cara menghadapi algoritma media sosial

Platform seperti Instagram dan TikTok memfasilitasi konten carousel sebagai media berbagi informasi dengan konsep microblogging. Bahkan saat artikel ini terbit, pihak Instagram menambah slot carousel hingga 20 slide. Hipotesis kami adalah ini potensi baik untuk pola carousel tetap eksis bahkan untuk masa yang akan datang. Kami yakin, saat platform melebarkan fasilitas, pasti punya niat di belakangnya. TikTok juga merespon hal ini, yang tadinya hanya konten berbasis video pendek, saat ini juga bisa berbagi konsep carousel. Para konten kreator jalur edukasi harus paha cara mencari ide konten tiktok edukasi yang berpotensi viral dan dilirik audiens dengan cara riset dengan serius.

Pada dasarnya, kreator dapat memanfaatkan konten panjang lewat video seperti Reels. Yang terpenting adalah bagaimana kita kreatif untuk mempertahankan retention audiens untuk tetap stay sampai akhir video. Saat audiens bertahan hingga akhir video, itu menjadi poin penting bahkan sebagai tanda bahwa konten tersebut relevan dan baik untuk direspon algoritmanya. Membuat konten panjang memang butuh effort dibanding short video, di sinilah kreator wajib memutar otaknya agar hasil karyanya layak ditonton dan disimak hingga tuntas.

Konten Pendek dan Singkat

Cara ini sedikit berbeda dengan dua cara sebelumnya yang sama bisa sebagai cara menghadapi algoritma media sosial, yaitu metode short video justru effortless. Kita tidak perlu repot memikirkan konsep terlalu dalam karena sejatinya kita tetap bisa mendapatkan perhatian audiens lewat video durasi pendek. Tidak ada yang paling hebat antara konten panjang dan pendek, keduanya hanya pilihan bagi kreator untuk berkarya. Poin pentingnya adalah bagaimana konten tersebut benar-benar bermanfaat dan disukai audiens.

Ada karakter audiens tertentu yang ingin melihat konten panjang secara komprehensif, tapi disisi lain ada karakter audiens yang tidak suka membuang banyak waktu. Jadi, wajar ada kubu short video dan long video, dan kreator harus adaptasi terhadap kedua cara tersebut. Terlalu ngotot dengan konten panjang juga tidak bagus dan terkesan idealis. Cara terbaiknya adalah tes dan ukur kedua cara tersebut, mana yang paling bagus, itulah yang prioritas dipakai. Kita tidak pernah tahu apa maunya audiens, sebaiknya ikuti mau mereka agar konten kamu tetap relevan dan sesuai kebutuhan audiens.

Buatlah konten yang emosional, menarik perhatian, dan pastikan ada manfaat bagi audiens. Pastikan informasi yang dibagi benar-benar mewakili perasaan, masalah, dan emosi audiens. Berpikirlah bahwa seorang kreator adalah wakil dari banyaknya audiens di luar, dan kamulah yang diberi suara untuk mewakili keresahan mereka. Makanya muncul konten POV, tujuannya adalah agar audiens merasa relevan dengan banyak orang dan sudah terwakilkan oleh kreator tersebut.

Pola ini juga berlaku bagi YouTube, itulah kenapa ada fasilitas long video dan video short. Semua platform tanpa kamu sadari memiliki fasilitas yang mirip bahkan sama, yaitu sama-sama punya ruang untuk konten panjang dan pendek. Logikanya, sekelas platform saja mau ikut maunya audiens, seharusnya kita sebagai kreator juga nurut maunya audiens seperti apa dan jalankan itu lewat kontenmu.

Gimana, sudah semakin terbuka pikirannya? Sudah semangat berkarya lagi?